http://tinyurl.com/6ds8khk
Beberapa orang bertanya begitu pada saya. Biasanya yang lebih banyak
bertanya adalah orang-orang yang bidangnya sama sekali tidak
bersinggungan dengan kedua bidang tersebut atau para calon mahasiswa
yang memilih melanjutkan studi ke Fakultas Psikologi. Seperti saya dulu.
Pertanyaan di atas adalah pertanyaan mendasar yang selayaknya diketahui
seorang mahasiswa baru di Fakultas Psikologi agar nantinya kalau ada
orang yang menanyakan pertanyaan serupa,
si mahasiswa sudah
tahu batasannya.
Dulu, saya sempat menganggap profesi psikolog dan psikiater itu sama
saja. Sama-sama menangani orang yang sakit jiwa, begitu kata orang-orang
kebanyakan. Apalagi definisi psikologi dan psikiatri sering disamakan
sebagai “ilmu jiwa”. Padahal sejatinya definisi psikologi adalah ilmu
yang mempelajari tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan
lingkungan. Berbeda dengan psikiatri yang didefinisikan sebagai suatu
cabang ilmu
kedokteran yang
mempelajari dan menangani gangguan mental, yang meliputi gangguan
afektif, perilaku, kognitif dan perseptual (sumber: Wikipedia).
Memang, sekilas kedua profesi ini terlihat sama. Itu dikarenakan ranah
kelimuannya bersinggungan di ranah psikis. Bahkan seorang ahli psikologi
yang terkenal dengan teori psikoanalisanya, Sigmund Freud, sejatinya
adalah seorang psikiater. Juga banyak ahli psikologi lain yang awalnya
mendalami ilmu kedokteran lalu ikut berkontribusi dalam dunia psikologi.
Tapi sebenarnya ada beberapa hal mendasar yang menjadi pembedanya.
Berikut secara ringkas perbedaan tersebut.
Latar belakang pendidikan
Psikolog sudah pasti adalah lulusan dari Fakultas Psikologi. Lulusan S1
Psikologi sebenarnya sudah dapat bekerja di berbagai bidang yang
membutuhkan jasa psikologi. Biasanya menjadi staf
Human Resources
Development (HRD) di berbagai instansi atau organisasi seperti,
bank, perusahaan, kantor pemerintahan, atau menjadi konselor di
sekolah-sekolah. Di dunia kerja, para lulusannya ini tampak setara
dengan lulusan S1 dari berbagai jurusan, karena pada masa kini
seringkali yang dibutuhkan adalah tenaga kerja dengan potensi, kemampuan
dan keterampilan yang dapat memenuhi kualifikasi dari
organisasi/perusahaan, bukan lagi berdasarkan jurusan pendidikannya di
perguruan tinggi.
Namun perlu diingat, lulusan S1 Psikologi tidak serta merta disebut
sebagai Psikolog. Sarjana S1 psikologi (bergelar S.Psi dibelakang
namanya) masih harus melanjutkan pendidikannya ke jenjang Magister
Profesi Psikologi (setara S2) untuk dapat meraih gelar Magister
Psikologi (M. Psi) dan disebut sebagai psikolog. Sebagai praktisi
psikologi, para psikolog ini memperoleh hak untuk ‘memegang’ alat tes,
dalam arti menyimpan dan menggunakan alat tes psikologi serta
menginterpretasikan hasilnya. Oleh karenanya mereka juga mendapatkan
izin untuk membuka praktik sebagai psikolog di biro-biro konsultan
psikologi yang biasanya ditangani secara perorangan atau kelompok
(beberapa orang psikolog).
Berbeda lagi dengan lulusan S1 Psikologi yang menerusan pendidikan ke
jenjang S2 sains psikologi (misalnya psikometri). Para lulusannya ini
bergelar M. Si namun tidak dapat menyebut dirinya sebagai psikolog
karena tidak berasal dari jenjang magister profesi psikologi. Tapi
mereka dapat menjadi staf pengajar/akademisi karena persyaratan utama
menjadi seorang staf pengajar di universitas (dosen) adalah bergelar S2.
Mereka ini juga disebut sebagai ilmuwan psikologi. Selain itu, mereka
juga dapat bekerja di berbagai instansi/organisasi yang membutuhkan
kualifikasi pendidikan tersebut.
Selain lulusan S1 Psikologi, ada juga lulusan S1 non-psikologi yang
meneruskan ke jenjang S2 psikologi. Namun para lulusannya ini hanya bisa
melanjutkan ke magister sains psikologi, karena jenjang profesi
psikologi hanya dikhususkan untuk lulusan S1 psikologi. Hal ini
dikarenakan pentingnya pemahaman mendasar tentang ilmu psikologi yang
diperoleh dari jenjang S1 agar nantinya langsung dapat mendalami
kekhususan yang dipilih di jenjang profesi psikologi, dimana hal ini
tentunya tidak didapatkan oleh lulusan S1 non-psikologi.
Sementara psikiater adalah dokter yang melanjutkan pendidikan ke jenjang
spesialisasi psikiatri (kedokteran jiwa). Para lulusan spesialisasi ini
digelari “Sp.KJ” (Spesialis Kedokteran Jiwa) atau disebut sebagai
psikiater.
Batas Kewenangan Profesi
Mungkin kita seringkali bingung untuk merujuk seseorang yang mengalami
masalah yang berkaitan dengan psikologis, apakah harus ke psikolog atau
ke psikiater?
Sebagaimana spesialisasi dalam bidang kedokteran, psikologi juga
memiliki banyak kekhususan, seperti psikologi klinis (meliputi psikologi
klinis anak dan psikologi klinis dewasa), psikologi sosial, psikologi
pendidikan, psikologi industri dan organisasi, psikologi perkembangan,
dan sebagainya. Psikiater lebih dekat hubungannya dengan psikolog
klinis.
Masalah-masalah yang biasanya dapat ditangani oleh psikolog secara umum
adalah masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari yang masih dapat
ditangani dengan konseling atau terapi ringan, misalnya dengan terapi
modifikasi perilaku atau juga
cognitive behavior therapy (CBT).
Masalah-masalah yang dimaksud berkisar pada
ranah pendidikan
(anak malas belajar, berperilaku agresif, suka membolos, takut sekolah,
tidak konsentrasi belajar, prestasi belajar menurun, takut bergaul atau
kurang percaya diri, sampai pada masalah pemilihan jurusan yang tepat
dan sesuai dengan potensi dan kemampuan akademik anak),
ranah
keluarga (masalah perkawinan, perceraian yang menghasilkan
keluarga
broken home, masalah kenakalan remaja), dan
ranah
pekerjaan (masalah kepemimpinan, motivasi kerja, kepuasan
kerja).
Sedangkan psikiater menangani masalah-masalah psikologis yang lebih
berat, seperti depresi, gangguan
mood, insomnia berat,
schizophrenia
(yang ditandai dengan munculnya halusinasi dan delusi), dan berbagai
masalah psikologis lain yang membutuhkan penanganan lebih dari sekedar
konseling. Biasanya para psikiater ini menggunakan obat-obatan dalam
proses terapinya. Inilah yang membedakannya dengan psikolog.
Satu hal lagi adalah tentang penyebutan mitra kerja. Orang yang berobat
ke psikiater sudah barang tentu disebut sebagai ‘pasien’, sementara
orang yang datang ke psikolog disebut sebagai ‘klien’. Perlu ditekankan
bahwa tidak semua orang yang datang ke biro-biro psikologi adalah
orang-orang yang memiliki masalah psikologis. Para klien ini bisa saja
datang karena ingin melakukan pemeriksaan psikologis (psikotes) untuk
kepentingan seleksi dan rekrutmen karyawan atau penentuan jurusan studi
siswa. Demikian juga dengan para pasien yang datang ke psikiater. Mereka
tidak boleh serta merta disebut “gila” karena meminta bantuan
psikiater.
Pada kenyataannya, kedua profesi ini saling bekerjasama dalam hal
merujuk pasien. Apabila seorang klien tak dapat ditangani oleh seorang
psikolog karena gangguan psikologisnya sudah berat dan membutuhkan
penanganan dengan obat-obatan, maka klien tersebut dirujuk ke psikiater.
Demikian juga dengan pasien yang sudah dinyatakan sembuh oleh
psikiater, maka untuk meyakinkannya lagi, perlu diperiksa kembali oleh
psikolog.
Jadi, tak masalah jika suatu waktu kita membutuhkan jasa psikolog atau
psikiater. Karena kedua profesi ini berprinsip menolong (
helping)
dan pastinya memegang kode etik yang sama; menjaga kerahasiaan masalah
klien/pasien.